NaR9Nax9LWVcLGx7LGB6LGJ4NTcsynIkynwdxn1c
Buku di Tengah Nasib yang Sekarat

Mari Berbagi Ide

Mari Berbagi Ide

Buku di Tengah Nasib yang Sekarat




PENERBIT IRFANI - Oleh: Salman A. Ridwan

Di perpustakaan yang sunyi, buku tersusun rapi, berjejer, ada juga yang menumpuk, tapi ditopang oleh rak-rak yang masih kokoh berdiri. Ia kesepian, seperti pensiunan buruh tua–yang terpinggir, terasing, dan kurang sentuhan manusia. Kertas yang dicetak itu penuh debu, kata-kata yang terangkai itu tak lagi dianggap bermakna. Padahal, ia pernah menjadi penerang di saat peradaban manusia sedang gelap tanpa arah.

Saat ini, kita sedang ada di masa terangnya cahaya layar, tapi gelap dalam pikiran. Kita lebih cepat menggulir layar sentuh kita daripada membuka lembaran buku. Pikiran diajak berlari dari berita satu ke berita lain tanpa henti; untuk sekejap merenung; menghela napas dalam memaknai kata-kata. Kita sibuk di tengah segala bentuk “kebijaksanaan yang cepat saji” akibat kemajuan teknologi.

Melalui keadaan zaman yang serba cepat dan instan ini, cara pandang kita secara terang-terangan telah menggeser keberadaan tentang buku. Buku yang dulu menjadi jantung kehidupan intelektual kini terasing. Ia terdegradasi dari fungsinya sebagai media yang membentuk pola pikir seseorang.

Tersingkirnya buku hari ini tentu bukan karena salahnya perkembangan teknologi, melainkan tentang cara pandang kita pada buku. Bukankah buku itu adalah simbol peradaban? Lalu bagaimana jika ia telah kehilangan maknanya yang adiluhung?

Kita sedang melihat buku sekarat, napasnya termegap-megap, ia merindukan sentuhan mata orang-orang yang lapar pengetahuan–agar membuatnya kembali hidup.

Bung Hatta dan Buku

Di saat buku sedang sekarat, kita diingatkan pada sosok “Si Bung Kecil” berkacamata: Mohammad Hatta. Ia adalah sosok manusia Indonesia yang membuktikan tentang cinta pada buku dalam bentuk yang tinggi dan penuh keberanian. Ia adalah cahaya terang yang menolak padam ketika dunia menindas pikiran.

Saat diasingkan oleh pemerintahan kolonial Belanda ke Boven Digul, Hatta hidup bersama buku. Seperti seorang pandita yang diselimuti doa-doa. Dalam Memoir (1979: 34) ia menulis: “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”. Tulisan itu bukanlah sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah pernyataan politik secara halus dari doa yang mengalir dalam darahnya.


(Bung Hatta dan koleksi buku, Sumber: Instagram@indonesian.historical)

 
Kita membayangkan Hatta di Boven Digul, dalam pengasingan di tengah hutan dan malaria, ia duduk hanya diterangi oleh lampu minyak. Di tengah pengawasan, ia membaca Plato, Adam Smith, dan Marx. Ia memahami betul bahwa membaca di tengah hidup yang diawasi adalah bentuk perlawanan yang bermartabat.

Hatta tidak sekadar membaca buku, ia pun menelaah, merenungkan, dan menuliskannya meski dengan tangan yang gemetar – karena geram melihat ganasnya penjajahan yang menghisap darah kemanusiaan.

Hatta mengajarkan kepada kita, bahwa buku dapat menjadi senjata moral. Meski dalam pengasingan, ia menunjukkan sikap tentang kebebasan intelektual yang tidak bisa dibungkam meski berada dalam tahanan. Hubungan antara Hatta dan buku adalah hubungan cinta yang tak pernah padam. Ia menjadi ruang dalam diri di mana pikiran masih memiliki energi untuk terus menyala.

Belum Punah

Lalu, apakah buku akan punah ketika teknologi telah mengubah segalanya menjadi serba digital? Saat ini, kita mendengar informasi banyak toko buku yang tutup, beberapa penerbit buku pun berhenti beroperasi akibat maraknya pembajakan digital, maka untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus memberanikan diri untuk menjawabnya dengan lantang: nasib buku belum punah. Ia belum mati.

Buku belum menjadi fosil kebudayaan. Ia belum usang. Saat ini, ia hanya sedang menunggu untuk dipanggil kembali. Dari setiap lembar halaman dalam buku adalah gema waktu. Dan setiap kata yang ditulis dalam buku adalah cara manusia untuk tidak menyerah pada kebodohan.

Buku berbeda juga dengan layar digital. Ketika layar digital membanjiri informasi, buku adalah penyaring. Buku tidak punah karena pesatnya perkembangan teknologi dan internet. Ia akan punah ketika manusia berhenti mencari kedalaman makna. Buku adalah jembatan yang menghubungkan antara manusia dengan keabadian pikirannya sendiri.

Meski saat ini buku tidak lagi diharumi oleh tinta, karena terkurung oleh layar digital, dengan sendirinya buku akan selalu menjaga martabatnya sebagai gerbang yang dapat membuka mata dan pikiran pembacanya.

Sama seperti halnya manusia, ia bisa sepi dan terluka. Namun, sampai hari ini, buku masih belum mati. Dalam setiap halaman buku ada denyut kemanusiaan yang menunggu untuk disentuh. Dan Bung Hatta, telah menunjukkan itu: bahwa buku adalah kawan seperjuangan.

Di tengah keadaan yang sedang sekarat, buku adalah harapan yang disusun dari kertas, tinta, dan keberanian. Ia tidak menua, karena setiap kali dibuka dan dibaca, buku akan kembali melahirkan dunia.

Saat kita melihat buku-buku tersusun rapi, berlapis debu, dan bertumpuk di atas rak yang sepi–sebenarnya buku sedang mengajarkan pada kita tentang kesabaran–sebuah kebajikan yang langka ditemukan di era yang serba cepat saji.

Komentar

Penerbit Irfani Ruang Bertumbuh

Penerbit Irfani Ruang Bertumbuh
Formulir Pemesanan via Whatsapp