Catatan Awal
Sekitar setahun yang lalu, saya bertemu teman lama di sebuah kafe di daerah Utan Kayu. Setelah ngobrol dan berkeluh kesah mengenai masalah ekonomi, ia menawarkan solusi dengan mengajak saya bekerja sebagai freelancer layouter (penata letak) di penerbit miliknya. Tugas penata letak adalah hal baru bagi saya, seorang guru matematika.Keraguan tersebut saya hadapi dengan prinsip: “Selama hal itu berhubungan dengan teknologi/ komputer, pasti ada sumbernya di internet”. Prinsip ini ternyata terbukti benar. Pengalaman serupa pernah terjadi saat saya diminta mengolah data statistik menggunakan software SPSS. Meskipun bukan ahli SPSS, dorongan ekonomi membuat saya menyanggupi. Saya menemukan banyak tutorial di internet untuk saya praktikkan dan terbukti berhasil.
Tulisan ini adalah cara saya berbagi pengalaman tentang hal-hal yang saya dapatkan ketika menjadi penata letak. Tulisan ini juga berisi beberapa catatan untuk teman-teman yang memberikan saya pekerjaan ini, yaitu para penulis buku.
Catatan untuk Para Penulis
Menjadi seorang penata letak itu memberikan banyak sekali keuntungan, salah satu yang paling signifikan adalah kesempatan membaca buku gratis setiap bulannya. Paling tidak, ada tiga buku baru yang kita kerjakan selama satu bulan, ini tentu sangat membantu kita menambah pengetahuan. Banyaknya variasi pengetahuan tersebut meningkatkan kemungkinan penata letak yang sudah berpengalaman untuk menjadi editor.Meskipun menjadi penata letak bukanlah hal yang sulit, tetapi bukan berarti pekerjaan penata letak tidak ada yang sulit (mudah semua). Karena sumber pekerjaan seorang penata letak adalah dari penulis, tidak sah rasanya jika tidak memberikan catatan kepada penulis. Catatan ini kebanyakan adalah hal-hal yang sering membuat saya kesulitan ketika menata halaman naskah, sebenarnya banyak hal yang perlu dibahas, tetapi saya batasi enam hal saja.
Pertama, sub-sub-sub-subjudul. Membagi judul naskah menjadi beberapa anak judul adalah hal yang wajar, subjudul dibuat sebagai pembatas antara pembahasan satu dengan pembahasan lainnya. Namun, penggunaan subjudul dalam subjudul yang terlalu dalam secara hierarkis justru akan mengaburkan fokus utama dan menyulitkan pembaca dalam menavigasi ide dalam sebuah naskah. Kekurangan yang paling jelas dapat dilihat secara visual. Teks menjadi sangat menjorok ke kanan karena over-indentation, sehingga halaman menjadi tidak seimbang.
Semakin dalam hierarki judul tersebut, semakin ke kanan teksnya. Sehingga teks-teks tersebut berdesakan dalam ruang sempit, sementara di sebelah kirinya ada ruang kosong. Dalam ilmu tata letak, ruang kosong adalah pemborosan. Solusinya kita harus mengubah struktur naskah tersebut. Pengubahan struktur naskah dapat dilakukan dengan menggunakan kalimat-kalimat transisi yang sesuai.
Kedua, daftar dalam daftar dalam daftar (nested list). Hampir sama seperti bagian pertama, daftar dalam daftar yang terlalu jauh hierarkinya akan terlihat sangat menjorok ke kanan, jelek secara visual dan boros halaman. Penggunaan nested list yang berlebihan juga salah satu tanda bahwa struktur logika pada naskah kita lemah, terlalu dalamnya nested list adalah indikasi kita terlalu banyak menambahkan detail terhadap suatu pembahasan. Jika memang nested list sangat kita butuhkan dalam naskah, sebaiknya dibatasi hanya dua atau tiga tingkatan.
Ketiga, gabungan kedua hal di atas. Bisa kita bayangkan betapa menjorok ke kanannya tulisan dengan gabungan ke dua hal tersebut dan betapa kesalnya orang yang bertugas menata letak ketika melihat hal tersebut. Hal ini saya sebutkan pada tulisan ini karena bukan hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga sangat sering. Bukan berarti naskah yang datang dengan bentuk seperti itu tidak bagus isinya, tetapi alangkah baiknya isi naskah yang bagus juga terlihat estetik secara visual.
Keempat, pembuatan baris baru dengan menggunakan manual line break (Shift+Enter) bukan enter biasa. Manual line break akan sangat mengganggu seorang penata letak karena bisa saja ketika penulis mengetik di komputernya tidak terlihat ada yang aneh, tetapi ketika penata letak akan mengubah formatnya menjadi rata kiri-kanan terlihat dengan jelas dan membuat tulisan terlihat forced justify (rata kiri-kanan yang berlebihan). Penggunaan manual line break yang tepat adalah pada teks yang rata kanan saja, rata kiri saja, dan rata tengah, seperti judul atau heading sebuah teks.
Kelima, perpindahan halaman dengan menggunakan section break bukan page break. Perpindahan halaman dengan menggunakan section break akan sangat menyulitkan ketika akan copy-paste teks tersebut. Teks dengan page break seluruhnya akan mengikuti format sebelumnya ketika di-paste, sedangkan teks dengan section break hanya mengikuti format di section pertama saat di-paste.
Terakhir, penggunaan grafik yang berwarna-warni atau gambar yang terlalu mengandalkan warna. Tidak ada salahnya seorang penulis menggunakan gambar dalam naskahnya untuk memperjelas pembahasannya, tetapi perlu diingat bahwa isi buku mayoritas dicetak hitam putih bukan berwarna. Jadi, sebaiknya penyematan gambar atau grafik kita buat sederhana dan berorientasi pada konten. bukan visualnya, sehingga fungsi gambar sebagai penjelas suatu topik dapat terpenuhi.
.png)